Standar umum pertama (SA seksi 210 dalam SPAP, 2001) menyebutkan bahwa audit harus dilaksanakan oleh seorang atau yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor. Sedangkan, standar umum ketiga (SA seksi 230 dalam SPAP, 2001) menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan audit akan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama. Oleh karena itu, maka setiap auditor wajib memiliki kemahiran profesionalitas dan keahlian dalam melaksanakan tugasnya sebagai auditor.
Lee dan Stone (1995) mendefinisikan kompetensi sebagai suatu keahlian yang cukup secara eksplisit dapat digunakan untuk melakukan audit secara objektif. Pendapat lain adalah dari Dreyfus dan Dreyfus (1986) dalam Elfarini (2007), mendefinisikan kompetensi sebagai keahlian seorang yang berperan secara berkelanjutan yang mana pergerakannya melalui proses pembelajaran, dari “pengetahuan sesuatu” ke “mengetahui bagaimana”, seperti misalnya: dari sekedar pengetahuan yang tergantung pada aturan tertentu kepada suatu pertanyaan yang bersifat intuitif. Lebih spesifik lagi Dreyfus dan Dreyfus (1986) dalam Elfarini (2007) membedakan proses pemerolehan keahlian menjadi 5 tahap.
Tahap pertama disebut Novice, yaitu tahapan pengenalan terhadap kenyataan dan membuat pendapat hanya berdasarkan aturan-aturan yang tersedia. Keahlian pada tahap pertama ini biasanya dimiliki oleh staf audit pemula yang baru lulus dari perguruan tinggi.
Tahap kedua disebut Advanced Beginner. Pada tahap ini auditor sangat bergantung pada aturan dan tidak mempunyai cukup kemampuan untuk merasionalkan segala tindakan audit, namun demikian, auditor pada tahap ini mulai dapat membedakan aturan yang sesuai dengan suatu tindakan.
Tahap ketiga disebut Competence. Pada tahap ini auditor harus mempunyai cukup pengalaman untuk menghadapi situasi yang kompleks. Tindakan yang diambil disesuaikan dengan tujuan yang ada dalam pikirannya dan kurang sadar terhadap pemilihan, penerapan, dan prosedur aturan audit.
Tahap keempat disebut Profiency. Pada tahap ini segala sesuatu menjadi rutin, sehingga dalam bekerja auditor cenderung tergantung pada pengalaman yang lalu. Intuisi mulai digunakan dan pada akhirnya pemikiran audit akan terus berjalan sehingga diperoleh analisis yang substansial.
Tahap kelima atau terakhir adalah Expertise. Pada tahap ini auditor mengetahui sesuatu karena kematangannya dan pemahamannya terhadap praktek yang ada. Auditor sudah dapat membuat keputusan atau menyelesaikan suatu permasalahan. Dengan demikian segala tindakan auditor pada tahap ini sangat rasional dan mereka bergantung pada intuisinya bukan pada peraturan-peraturan yang ada.
De Angelo (1981) dalam Kartika Widhi (2005) memproksikan kompetensi kedalam dua komponen yaitu pengetahuan dan pengalaman.
1) Pengetahuan
Pengetahuan diukur dari seberapa tinggi pendidikan seorang auditor karena dengan demikian auditor akan mempunyai semakin banyak pengetahuan (pandangan) mengenai bidang yang digelutinya sehingga dapat mengetahui berbagai masalah secara lebih mendalam. Selain itu, auditor akan lebih mudah dalam mengikuti perkembangan yang semakin kompleks (Meinhard, et al., 1987).
Untuk melakukan tugas pengauditan, auditor memerlukan pengetahuan pengauditan (umum dan khusus) dan pengetahuan mengenai bidang pengauditan, akuntansi dan industri klien. Secara umum ada lima jenis pengetahuan yang harus dimiliki auditor yaitu (1) pengetahuan umum, (2) area fungsional, (3) isu akuntansi, (4) industri khusus, dan (5) pengetahuan bisnis umum serta penyelesaian masalah.
2) Pengalaman
Menurut Loeher (2002) dalam Elfarini (2007), pengalaman merupakan akumulasi gabungan dari semua yang diperoleh melalui berhadapan dan berinteraksi secara berulang-ulang dengan sesama benda alam, keadaan, gagasan, dan penginderaan. Pengetahuan auditor tentang audit akan semakin berkembang dengan bertambahnya pengalaman kerja. Pengalaman kerja akan meningkat seiring dengan meningkatnya kompleksitas kerja (Herliansyah dan Meifida, 2006).
Menurut Tubbs (1992) dalam Mayangsari (2003) auditor yang berpengalaman memiliki keunggulan dalam hal: (1) Mendeteksi kesalahan, (2) Memahami kesalahan secara akurat, (3) Mencari penyebab kesalahan. Guntur, dkk. (2002) dalam Mayangsari (2003) menyebutkan bahwa pengalaman kerja auditor (lebih dari dua tahun) dapat menentukan profesionalisme, kinerja komitmen terhadap organisasi, serta kualitas auditor melalui pengetahuan yang diperolehnya dari pengalaman melakukan audit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar