Sampai saat ini belum ada definisi yang pasti mengenai bagaimana dan apa kualitas audit yang baik itu. Tidak mudah untuk menggambarkan dan mengukur kualitas jasa secara objektif dengan beberapa indikator. Hal ini dikarenakan, kualitas jasa adalah sebuah konsep yang sulit dipahami dan kabur, sehingga kerap kali terdapat kesalahan dalam menentukan sifat dan kualitasnya (Parasuraman, et al. dalam Nurchasanah dan Rahmanti (2003)). Hal ini terbukti dari banyaknya penelitian yang menggunakan dimensi kualitas jasa dengan cara yang berbeda-beda. Walaupun demikian, Cheney (1993) dalam Nurchasanah dan Rahmanti (2003) menyatakan bahwa penelitian terhadap kualitas jasa tetap penting mengingat meningkatkan tuntutan konsumen terhadap kualitas jasa yang mereka beli.
Kualitas hasil pekerjaan auditor bisa juga dilihat dari kualitas keputusan-keputusan yang diambil. Menurut Edwards, et al. dalam Bedard dan Michelene (1993) ada dua pendekatan yang digunakan untuk yaitu outcome oriented dan process oriented. Pendekatan outcome oriented digunakan jika solusi dari sebuah masalah atau hasil dari sebuah pekerjaan sudah dapat dipastikan. Untuk menilai kualitas keputusan yang akan diambil dilakukan dengan cara membandingkan solusi atau hasil yang dicapai dengan standar hasil yang telah ditetapkan sebelumnya. Sedangkan pendekatan process oriented digunakan jika solusi sebuah permasalahan atau hasil dari sebuah pekerjaan sangat sulit dipastikan. Maka untuk menilai kualitas keputusan yang akan diambil auditor dilihat dari kualitas tahapan/proses yang telah ditempuh auditor selama menyelesaikan pekerjaan dari awal hingga menghasilkan sebuah keputusan.
Pengukuran hasil lebih banyak digunakan karena pengukuran proses tidak dapat diobservasi secara langsung sedangkan pengukuran hasil biasanya menggunakan ukuran besarnya audit. Hal tersebut senada dengan Moizer (1997) yang menyatakan bahwa pengukuran kualitas proses audit terpusat pada kinerja yang dilakukan auditor dan kepatuhan pada standar yang telah digariskan.
Dalam Nataline (2007) disebutkan ada sembilan elemen pengendalian kualitas yang harus diterapkan oleh kantor akuntan dalam mengadopsi kebijakan dan prosedur pengendalian kualitas untuk memberikan jaminan yang memadai agar sesuai dengan standar profesional di dalam melakukan audit, jasa akuntansi, dan jasa review. Sembilan elemen pengendalian tersebut adalah sebagai berikut.
1) Independensi
Seluruh auditor harus independen terhadap klien ketika melaksanakan tugas. Prosedur dan kebijakan yang digunakan adalah dengan mengkomunikasikan aturan mengenai independensi kepada staf.
2) Penugasan personel untuk melaksanakan perjanjian
Personel harus memilik pelatihan teknis dan profesionalisme yang dibutuhkan dalam penugasan. Prosedur dan kebijakan yang digunakan yaitu dengan mengangkat personel yang tepat dalam penugasan untuk melaksanakan perjanjian serta memberi kesempatan partner memberikan persetujuan penugasan.
3) Konsultasi
Jika diperlukan personel yang dapat mempunyai asisten dari orang yang mempunyai keahlian, judgement, dan otoritas yang tepat. Prosedur dan kebijakan yang diterapkan adalah mengangkat individu sesuai dengan keahliannya.
4) Supervisi
Pekerjaan pada semua tingkat harus disupervisi untuk meyakinkan telah sesuai dengan standar kualitas. Prosedur dan kebijakan yang digunakan adalah menetapkan prosedur-prosedur untuk me-review kertas kerja dan laporan serta menyediakan supervisi pekerjaan yang sedang dilaksanakan.
5) Pengangkatan
Karyawan baru harus memiliki karakter yang tepat untuk melaksanakan tugas secara lengkap. Prosedur dan kebijakan yang diterapkan adalah selalu menerapkan suatu program pengangkatan pegawai untuk mendapatkan karyawan pada level yang akan ditempati.
6) Pengembangan profesi
Personel harus memiliki pengetahuan yang dibutuhkan untuk memenuhi tanggung jawab yang disepakati. Prosedur dan kebijakan yang diterapkan adalah menyediakan progam peningkatan keahlian spesialisasi serta memberikan informasi kepada personel tentang aturan profesional yang baru.
7) Promosi
Personel harus memenuhi kualifikasi untuk memenuhi tanggung jawab yang akan mereka terima di masa depan. Prosedur dan kebijakan yang diterapkan adalah menetapkan kualifikasi yang dibutuhkan untuk setiap tingkat pertanggungjawaban dalam kantor akuntan serta secara periodik membuat evaluasi terhadap personel.
8) Penerimaan dan kelangsungan kerjasama dengan klien
Kantor akuntan publik harus meminimalkan penerimaan penugasan sehubungan dengan klien yang memiliki manajemen dengan integritas yang kurang. Prosedur dan kebijakan yang diterapkan adalah menetapkan kriteria dalam mengevaluasi klien baru serta me-review prosedur dalam kelangsungan kerja sama dengan klien.
9) Inspeksi
Kantor akuntan harus menentukan prosedur-prosedur yang berhubungan dengan elemen-elemen yang lain yang akan diterapkan secara efektif. Prosedur dan kebijakan yang diterapkan adalah mendefinisikan luas dan isi program inspeksi serta menyediakan laporan hasil inspeksi untuk tingkat yang tepat.
Ikatan Akuntan Indonesia menyatakan bahwa audit yang dilakukan auditor dikatakan berkualitas, jika memenuhi standar auditing dan standar pengendalian mutu. Selanjutnya De Angelo (1981) mendefinisikan audit quality sebagai probabilitas (kemungkinan) dimana seorang auditor menemukan dan melaporkan tentang adanya suatu pelanggaran dalam sistem akuntansi kliennya. Deis dan Giroux (1992) menjelaskan adapun kemampuan untuk menemukan salah saji yang material dalam laporan keuangan perusahaan tergantung dari kompetensi auditor sedangkan kemauan untuk melaporkan temuan salah saji tersebut tergantung pada independensinya.
Dari pengertian tentang kualitas audit tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kualitas audit merupakan segala kemungkinan dimana auditor pada saat mengaudit laporan keuangan klien dapat menemukan pelanggaran yang terjadi dalam sistem akuntansi klien dan melaporkannya dalam laporan keuangan auditan, dimana dalam melaksanakan tugasnya tersebut auditor berpedoman pada standar auditing dan kode etik akuntan publik yang relevan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar