Kompleksitas Aturan Perpajakan dan
Tuntutan Klien
Perekonomian
sebuah negara sedikit banyak dipengaruhi oleh peraturan dan perundang-undangan
perpajakan yang diterapkan oleh pemerintahnya. Jika para pembuat kebijakan di
bidang perpajakan membuat kebijakan yang terlalu kompleks atau sering
berubah-ubah, Wajib Pajak tidak mungkin memiliki gambaran yang pasti atas
pengaruh peraturan pajak tersebut terhadap investasi dan usaha yang mereka
jalankan. Beberapa Wajib Pajak beranggapan bahwa sistem perpajakan, khususnya
pajak penghasilan masih terlalu kompleks. Kompleksitas peraturan tersebut
menimbulkan tingginya biaya yang harus dipikul oleh seorang Wajib Pajak untuk
memenuhi kewajiban perpajakannya.
Biaya
yang harus dipikul oleh Wajib Pajak dalam rangka memenuhi kewajiban
perpajakannya disebut juga sebagai biaya kepatuhan pajak (tax compliance cost). Idealnya biaya kepatuhan tidak memberatkan
dan menghambat Wajib Pajak dalam rangka memenuhi kewajiban perpajakannya.
Sampai dengan saat ini memang belum ada studi yang komprehensif mengenai
besaran biaya kepatuhan pajak di indonesia, tapi bukan berarti biaya kepatuhan
pajak tidak membebani Wajib pajak Biaya kepatuhan disini bukan hanya biaya
dalam artian uang, tapi juga waktu dan pikiran.
Dalam
memenuhi kewajiban perpajakan, Wajib Pajak harus mengeluarkan uang selain untuk
membayar pajak terutang – minimal untuk biaya perjalanan dan administrasi ke
bank atau kantor pos untuk melakukan penyetoran. Selain itu, Wajib Pajak juga
harus meluangkan waktu untuk membaca petunjuk pengisian SPT, mengisi nya dan
mengirimkannya ke Kantor Pelayanan Pajak. Wajib Pajak juga dibebani pikiran
takut jika pemahamannya atas peraturan perpajakan berbeda dengan pemahaman
petugas pajak kemudian dituduh melakukan tax
evasion.
Dalam hal
pelaporan, Direktorat Jenderal Pajak telah menerapkan e-filling yaitu penyampaian SPT melalui internet. Dikarenakan
penetrasi internet di indonesia yang masih rendah, maka penerapan e-filing tidak banyak berpengaruh
terhadap biaya kepatuhan pajak yang ditanggung oleh Wajib Pajak secara
keseluruhan. Manfaat e-filling lebih
kepada berkurangnya pekerjaan klerikal petugas pajak dalam melakukan perekaman
data SPT yang dikirimkan oleh Wajib Pajak. Berdasarkan contoh diatas dapat
disimpulkan bahwa biaya kepatuhan pajak merupakan biaya tetap (fixed cost) bagi banyak Wajib Pajak. Hal
ini menyebabkan Wajib Pajak terutama Orang Pribadi yang dikenakan tarif pajak
terendah akan menanggung biaya kepatuhan pajak relatif yang lebih besar
dibandingkan dengan Wajib Pajak yang berpenghasilan tinggi. Dengan kata lain
biaya kepatuhan pajak memberikan beban ekonomi yang lebih besar kepada Wajib
Pajak yang memiliki penghasilan rendah.
Berikut ini disajikan kasus yang
mencerminkan kompleksitas aturan perpajakan dan
tuntutan klien:
a.
Jeratan
Pajak Ganda pada Dividen
Secara teori Indonesia menganut klasikal sistem.
Artinya, ada pembedaan subyek pajak. Yaitu subyek pajak badan dan subjek pajak
perseorangan. Yang bermasalah dalam pajak deviden adalah terjadi economic double taxation. Pengertiannya,
sebelum dividen dibagi kepada pengusaha, dia merupakan laba perusahaan yang
dikenakan pajak, atau disebut pajak korporat. Namun, ketika dibagi lagi kepada
pemegang saham di korporat, pemegang saham itu harus dikenakan pajak lagi.
Inilah yang disebut sebagai pajak ganda.
Sebagai perbandingan, Malaysia dan Singapura tidak
lagi menggunakan pajak atas dividen. Mereka menggunakan kredit sistem. Yakni,
pajak yang bisa dikreditkan kepada para pemegang saham di korporat. Sehingga,
korporat hanya dimaknai sebagai sarana. Subyek pajak tetap melekat pada
pribadi. Tak ada lagi pajak ganda yang membebani.
b.
Sengketa
Pajak
Kalau terjadi dispute, yakni hitungan wajib pajak (WP)
dengan petugas pajak berbeda. Jika terjadi sengketa SPT, maka apapun yang akan
dipakai adalah hitungan aparat pajak, dan hitungan itu harus dibayar lebih
dahulu oleh WP sebesar 50 persen dari hitungan petugas pajak sebelum bisa
dibawa kepada pengadilan pajak. Kalau hitungan WP yang dinyatakan pengadilan benar maka WP berhak
menerima restitusi. Malangnya, uang restitusi itu kenyataannya tidak segera
dibayarkan oleh fiskus. Jika
uang restitusi jumlahnya milyaran jelas saja mengganggu cash flow para pengusaha. Inilah persoalan yang menjadi momok dalam
dispute antara WP dengan aparat
pajak.
Untungnya dalam UU
KUP, perhitungan SPT ditentukan secara
bersama-sama. Jika ada perbedaan klaim angka, maka yang lebih dahulu dipakai
adalah klaim WP. Sebelum masuk ke pengadilan pajak, WP hanya cukup membayar
sebesar 50 persen dari klaim hitungan WP sendiri.
c.
Tarif Pajak yang tinggi
Tarif yang tinggi membuat yang
bayar menjadi sedikit. Sehingga membuat banyak orang yang lain lebih sering
menghindar dan kucing-kucingan dengan petugas pajak. Dalam pikiran mereka,
sekali Anda punya NPWP sampai mati Anda akan dikejar oleh aparat pajak. Prinsip
ini membuat mereka kalau bisa selalu baku atur atau main belakang dengan fiskus.
Penyederhanaan Perpajakan
Setiap
kompleksitas yang ada dalam peraturan perundang-undangan perpajakan merupakan
disinsentif bagi dunia usaha dan investasi di negeri ini. Penyederhanaan dapat
dilakukan dengan pertama menerapkan tarif pajak tunggal yang kompetitif,
sebagai contoh, jika dibandingkan dengan Malaysia, Filipina, Cina dan Thailand
yang menerapkan tarif pajak tunggal untuk Wajib Pajak Badan, tarif pajak di
Indonesia yang terdiri atas tiga lapisan tarif terlihat terlalu kompleks,
negara-negara tetangga tersebut lebih memilih menerapkan tarif pajak khusus
untuk Wajib Pajak tertentu, contohnya: perminyakan dan investasi asing. Efek
minimal dari diberlakukannya 3 lapisan tarif pajak di Indonesia adalah Wajib
Pajak di Indonesia membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menghitung pajak
terutang jika dibandingkan dengan Wajib Pajak di Malaysia. Waktu yang
sebenarnya bisa digunakan untuk menjalankan kegiatan usaha yang menghasilkan
dan meningkatkan kontribusi pembayaran pajak.
Kedua
menghilangkan kewajiban menyampaikan SPT Tahunan bagi Wajib Pajak Orang pribadi
yang tidak memperoleh penghasilan lain selain dari pemberi kerja dan atau pajak
terutangnya untuk tahun tersebut nihil. Dengan asumsi seluruh penghasilan dari
pemberi kerja telah dipungut, disetorkan dan dilaporkan adalah sebuah kegiatan
yang sia-sia jika kewajiban pelaporan tetap diterapkan Wajib Pajak tersebut.
Setelah Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan disahkan DPR bulan
lalu dan dianggap cukup mengakomodir kepentingan Wajib Pajak, masyarakat
berharap pemerintah tetap konsisten melakukan reformasi di bidang perpajakan.
Bukan hanya dengan membuat undang-undang mudah dipahami
dan dijalankan tapi juga peraturan pelaksanaan dibawahnya yang konsisten dan
tidak tumpang tindih. Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak
menjadi tumpuan harapan masyarakat dalam rangka melakukan penyederhanaan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Penyederhanaan tersebut
memberikan keuntungan yang sangat besar bagi Wajib Pajak berpenghasilan rendah,
sehingga biaya kepatuhan pajak dapat ditekan seminimal mungkin walaupun tidak
bisa dihilangkan.
informasi menarik dan penting untuk dibaca
BalasHapusterima kasih sudah berkunjung ke blog saya.. smoga bermanfaat. :)
Hapus