1. PEMOTONG PAJAK
A. Pengertian PPh Pasal 21
Pajak
penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh
wajib pajak dalam negeri orang pribadi yang disingkat PPh Pasal 21 adalah pajak
atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan,
jasa, dan kegiatan orang pribadi.
Pemotong PPH Pasal 21 (KEP-545/PJ/2000)
1.
Pemberi
kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusatmaupun
cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan
dan prmbayaran lain dengan nama dan bentuk apapun.
2.
Bendahara
atau pemegang kas pemerintah termasuk bendahara atau pemegang kas pada
Pemerintah pusat.
3.
Dana
pensiun, badan penyelenggaran jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain
yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.
4.
Orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang
membayar.
5.
Penyelenggara
kegiatan termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan
internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya.
Tidak
termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran, dan
pelaporan pajak adalah badan atau organisasi internasional yang tidak termasuk
subjek pajak penghasilan. Badan atau organisasi internasional yang tidak
termasuk subjek pajak penghasilan diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan RI
No. 601/KMK.03/2005.
B. Pengertian PPh Pasal 22
PPh Pasal
22 merupakan pajak yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah baik Pemerintah
Pusat maupun Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan
lembaga-lembaga negara lain, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan
barang; dan badan-badan tertentu baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan
dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
PPh Pasal
22 dibayar dalam tahun berjalan melalui pemotongan atau pemungutan oleh
pihak-pihak tertentu. Pemungutan PPh Pasal 22 ada yang bersifat final dan tidak
final. Jika pemungutan PPh pasal 22 bersifat final maka jumlah pajak yang telah
dibayar dalam tahun berjalan tersebut dapat dikreditkan dari total PPh terutang
pada akhir tahun saat pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan.
Pemotong Pajak PPh Pasal 22:
1.
Bank
Devisa dan direktorat jendral bea cukai atas impor barang.
2.
Direktorat
jendral perbendaharaan, bendahara Pemerintah baik di tingkat pusat maupun
tingkat daerah.
3.
BUMN
dan BUMD.
4.
Bank
Indonesia, BULOG, TELKOM, PLN, PPA (Perusahaan Pengelolaan Aset), Pertamina.
5.
Badan
usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri, semen, industri kertas,
industri baja dan industri otomotif.
6.
Produsen
atau importir bahan bakar minyak gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar
minyak, gas, dan pelumas.
7.
Industri
dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian dan
perikanan yang ditunjuk oleh Direktur Jendral Pajak.
8.
Wajib
Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Sejak
tanggal 1 Mei 2001, Bulog tidak lagi ditunjuk sebagai Pemungut PPh 22 atas
penyaluran gula pasir dan tepung terigu (SE-13/PJ.43/2001)
C. Pengertian PPh Pasal 23
Pajak
Penghasilan Pasal 23 mengatur mengenai pemotongan pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang
berasal dari modal, penyertaan modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan
kegiatan, selain yang dipotong pajak penghasilan pasal 21.
Pemotong PPh Pasal 23:
PPh Pasal
23 merupakan salah satu jenis uang muka PPh yang dibayar selama tahun berjalan
oleh Wajib Pajak dalam negeri dan BUT melalui sistem pemotongan oleh pihak
lain.
1. Badan Pemerintah
2. Subyek Pajak Badan dalam negeri
3. Penyelenggara kegiatan
4. Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau
perwakilan perusahaan luar negeri
5. Orang pribadi sebagai wajib pajak
dalam negeri yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak, yaitu:
a. Akuntan, arsitek, dokter,
notaris, PPAT (kecuali Camat), pengacara, konsultan, yang melakukan pekerjaan
bebas.
b. Orang pribadi yang menjalankan
usaha yang menyelenggarakan pembukuan atas pembayaran berupa sewa.
D. Pengertian PPh Pasal 26
Pajak
Penghasilan yang diperoleh wajib pajak luar negeri (orang pribadi maupun
badan), selain bentuk usaha tetap dalam PPh pasal 26 adalah pajak atas
penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Penerima penghasilan yang dipotong
PPh pasal 26 berdasarkan Keputusan ini adalah orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183
hari dalam jangka waktu 12 bulan serta badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap.
Pemotong PPh Pasal 26:
1.
Badan
Pemerintah
2.
Subjek
Pajak dalam Negeri
3.
Penyelenggaran
kegiatan
4.
Bentuk
Usaha Tetap
5.
Perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya
6.
Pembeli
yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 26
2. PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG
PPh Pasal 21
Orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak dalam negeri
yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun,
sepanjang tidak dikecualikan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak, baik itu
sebagai pegawai maupun bukan pegawai, termasuk penerima pensiun. Penerima Penghasilan Bukan Pegawai antara lain meliputi:
a.
Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri
dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan
aktuaris;
b.
Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang
film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model,
peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
c.
Olahragawan
d.
Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan
moderator;
e.
Pengarang, peneliti, dan penerjemah;
f.
Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer
dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan
sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan
g.
Agen iklan;
h.
Pengawas atau pengelola proyek;
i.
Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang
menjadi perantara;
j.
Petugas penjaja barang dagangan;
k.
Petugas dinas luar asuransi;
l.
Distributor perusahaan multilevel marketing atau kegiatan
sejenis lainnya
PPh Pasal 22
Pihak yang dipungut
PPh Pasal 22:
1.
Mereka yang melakukan kegiatan impor
barang
2.
Rekanan yang menerima pembayaran dari
Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemerintah Pusat/Daerah, BUMN/BUMD
BPPN, dan Bank Indonesia atas penyerahan/ penjualan barang yang pembayarannya
berasal dari dana APBN/ APBD;
3.
Penyalur atau agen Pertamina;
4.
Penyalur atau agen badan usaha selain
Pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix dan gas.
5.
Penyalur dan agen gula pasir dan tepung
terigu dari Bulog, serta pembeli lainnya yang langsung dari Bulog;
6.
Penyalur, dealer, agen, dan grosir
semen, rokok putih dan rokok kretek, kertas, baja, dan otomotif, atas penjualan
hasil produksinya di dalam negeri.
PPh Pasal 23
Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal
dari modal,pemberian jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah
dipotong pajak
PPh Pasal 26
Wajib
Pajak luar negeri dari Indonesia.
3. OBJEK PAJAK
PPh Pasal 21
Objek Pemotongan
1.
Penghasilan
yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilanyang
bersifat teratur maupun tidak teratur.
2.
Penghasilan
yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang
pensiun atau penghasilan sejenisnya.
3.
Penghasilan
sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan
pensiun yang diterima secara sekaligus.
4.
Penghasilan
pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan,
upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan.
5.
Imbalan
kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan.
6.
Imbalan
kepada peserta kegiatan antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang
rapat, honorarium,hadiah atau penghargaan dengan nama apapun.
7.
Penerimaan
dalam bentuk natura dan atau kenikmatan lainnya dengan namadan dalam bentuk
apapun.
Bukan Obyek Pemotongan PPh Pasal 21 (KEP-545/PJ/2000)
1.
Pembayaran klaim asuransi dari perusahaan asuransi, baik asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, maupun
asuransi beasiswa.
2.
Imbalan dalam bentuk natura, kecuali : yang diberikan oleh bukan subyek
pajak, diberikan di daerah terpencil, atau diberikan oleh pemerintah.
3.
Iuran pensiun yang dibayar pemberi kerja kepada dana pensiun, iuran taspen
yang dibayar pemberi kerja kepada Badan Penyelenggara Taspen, iuran
THT/tunjangan hari tua yang dibayar pemberi kerja kepada dana pensiun, iuran
jamsostek yang dibayar pemberi kerja kepada Badan Penyelenggara Jamsostek.
(pengenaan pajaknya akan dilakukan pada saat penerimaan uang pensiun atau
tunjangan hari tua).
4.
Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja
5.
Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun
yang diberikan oleh Pemerintah.
6.
Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
PPh Pasal 22
Obyek Pemotongan PPh 22
1.
Impor
barang
2.
Pembayaran
atas pembelian barang yang dilakukan oleh Direktorat Jendral
Anggaran,Bendaharawan Pemerintah baik di tingkat pusat daerah maupun pusat.
3.
Pembayaran
atas pembelian barang yang dilakukan Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha
Milik Daerah.
4.
Penjualan
hasil produksi di dalam negeri yang dilakukan oleh badan usaha yang bergerak di
bidang industri semen, industri semen, industri rokok, industri kertas,
industri baja dan industri otomotif.
5.
Penjualan
hasil produksi yang dilakukan oleh Pertamina dan badan usaha selain Pertamina
yang bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis dan gas.
6.
Pembelian
bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor industri dan eksportir yang
bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan dari
pedagang pengumpul.
7.
Penjualan
barang yang tergolong sangat mewah.
Bukan Obyek Pemotongan PPh Pasal 22 (254/KMK.03/2001 Jo 392/KMK.03/2001 Jo 236/KMK.03/2003 Jo SE-13/PJ.43/2001)
1.
Impor
barang atau penyerahan barang di dalam negeri yang berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan.
2.
Impor
barang yang dibebaskan dari bea masuk, yaitu terdiri dari:
·
Barang
perwakilan negara asing dan pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan
asas timbal balik.
·
Barang
untuk keperluan badan internasional dan pejabatnya yang bertugas di Indonesia
yang dinyatakan sebagai bukan subyek pajak.
·
Barang
untuk musium, kebun binatang, dan tempat sejenis untuk kepentingan umum.
·
Barang
kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, agama, sosial, dan kebudayaan.
·
Barang
untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.
·
Barang
untuk keperluan tuna netra dan penyandang cacat lainnya.
·
Persenjataan,
amunisi, perlengkapan militer, suku cadang untuk keperluan pertahanan dan
keamanan Negara.
·
Barang
yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk
kepentingan umum
·
Peti
mati atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah.
·
Buku-buku
pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama.
·
Barang
pindahan
·
Barang
pribadi penumpang, awak sarana pengangkutan, pelintas batas, barang kiriman
(sampai nilai pabean tertentu).
·
Barang
dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan
dan dan keamanan negara.
·
Vaksin
Polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN).
·
Kapal
laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, dan kapal angkutan
penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang,
dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau alat keselamatan manusia
yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau
perusahaan penangkapan ikan nasional.
·
Pesawat
udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatan
manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diimpor dan digunakan
oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional.
·
Kereta
api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta
prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT Kereta Api Indonesia.
·
Peralatan
yang digunakan untuk Penyediaan data batas dan photo udara wilayah Negara
Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia.
3.
Impor
sementara yang semata-mata untuk diekspor kembali
4.
Pembayaran
oleh Bendaharawan Pemerintah (beban APBN/APBD) atas pembelian barang/jasa yang
nilainya paling banyak Rp 1.000.000,00 (tanpa penerbitan SKB).
5.
Pembayaran
oleh Bendaharawan Pemerintah (beban APBN/APBD) atas pembelian bahan bakar
minyak, listrik, telepon, gas, air PAM, benda-benda pos (tanpa penerbitan SKB).
6.
Emas
batangan yang diproses untuk menghasilkan barang perhiasan emas untuk tujuan
ekspor.
7.
Pembayaran/pencairan
dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara
(tanpa SKB).
8.
Impor
kembali (re-impor) atas barang-barang yang telah diekspor atau barang
yang diimpor kembali untuk perbaikan, pengerjaan dan pengujian sepanjang
memenuhi syarat yang ditentukan oleh Dirjen Bea dan Cukai.
9.
Pembayaran
untuk pembelian gabah dan/atau beras oleh BULOG
PPh Pasal 23
Obyek Pemotongan PPh 23
1.
Deviden,
dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi
kepada pemegang polis, dan pembagian hasil usaha koperasi.
2.
Bunga
termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
3.
Royalti.
4.
Hadiah,
penghargaan bonus, dan sejenisnya.
5.
Sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah
dan/atau bangunan, dan
6.
Imbalan
sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan,
dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong.
1.
Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank
2.
Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan
hak opsi (capital lease).
3.
Dividen yang dibayarkan atau terutang kepada Perseroan Terbatas (PT), Koperasi,
Yayasan atau sejenisnya, BUMN/BUMD, yang merupakan wajib pajak dalam negeri
dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan berkedudukan di
Indonesia, sepanjang :
a.
Dividen tersebut berasal dari cadangan laba yang ditahan
b.
Dalam hal penerima dividen adalah perseroan terbatas, BUMN, dan BUMD,
kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari
jumlah modal yang disetor dan harus memiliki usaha aktif di luar kepemilikan
saham tersebut
4.
Bunga obligasi yang dibayar atau terutang kepada reksa dana selama 5 tahun
pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha.
5.
Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh Koperasi kepada angotanya.
6.
Bunga simpanan Koperasi yang tidak melebihi batas tertentu yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan (Rp 240.000,00) yang dibayar oleh Koperasi kepada
anggotanya.
PPh Pasal 26
Obyek Pemotongan PPh 26
1.
Deviden,
bunga termasuk premium diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang, royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta, imbalan sehubungan jasa, pekerjaan dan kegiatan, hadiah dan
penghargaan,pensiun dan pembayaran berkala lainnya, prem, keuntungan karena
pembebasan utang.
2.
Penghasilan
dari penjualan atau pengalihan harta di indonesia.
3.
Premi
asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri.
4.
Penjualan
atau pengalihan saham antara yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara
yang memberikan perlindungan pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan
badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau Bentuk Usaha
tetap di Indonesia.
5.
Penghasilan
Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia
pajak sebesar 20%, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di
Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
4. PENGURANGAN YANG DIPERBOLEHKAN
Pengurangan yang diperbolehkan untuk
menghitung Penghasilan Kena Pajak
Pengurangan-pengurangan yang diperobolehkan untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak untuk pegawai tetap:
Pengurangan-pengurangan yang diperobolehkan untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak untuk pegawai tetap:
1.
Biaya jabatan sebesar 5% dari penghasilan bruto, maksimum Rp 6.000.000,00
per tahun, atau Rp 500.000,00 per bulan.
2.
Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai ke dana pensiun
atau penyelenggara Tabungan Hari Tua atau Jaminan hari Tua, yang pendiriannya
disahkan Menteri Keuangan, maksimal Rp 2.400.000,00 per tahun, atau Rp
200.000,00 per bulan.
3.
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP):
a.
Rp 15.840.000,00 (tiga belas juta dua ratus ribu rupiah) untuk diri Wajib
Pajak orang pribadi,
b.
Rp 1.320.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib
Pajak yang kawin,
c.
Rp 15.840.000,00 (tiga belas juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk
seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1);
d.
Rp 1.320.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap
anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta
anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang
untuk setiap keluarga.
Catatan:
Dalam
hal karyawati kawin, PTKP yang dikurangkan hanya untuk dirinya sendiri, dan
dalam hal tidak kawin pengurangan PTKP selain untuk dirinya sendiri juga
ditambah dengan PTKP keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis
keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling
banyak 3 (tiga) orang.
Untuk pegawai tidak
tetap pengurangan yang diperkenankan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak
adalah hanya Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Untuk pensiunan pengurangan yang diperbolehkan dikurangkan dalam menghitung Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah:
Untuk pensiunan pengurangan yang diperbolehkan dikurangkan dalam menghitung Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah:
- biaya pensiun adalah sebesar 5% dari jumlah pensiun bruto, maksimum Rp 432.000,00 per tahun atau Rp 36.000,00 per bulan.
- Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Untuk pegawai harian,
mingguan, pemagang, dan pegawai tidak tetap lainnya pengurangan yang
diperkenankan adalah pengurang sebesar Rp 150.000,00 per hari, dengan syarat
penghasilan dalam satu bulan takwim tidak melebihi Rp 1.320.000,00 dan upahnya tidak
dibayarkan secara bulanan.
Dalam hal penghasilan
dalam satu bulan takwim melebihi Rp 1.320.000,00 atau upahnya dibayarkan secara
bulanan, maka PTKP yang dapat dikurangkan adalah PTKP sebenarnya. Untuk kasus
penghasilannya melebihi Rp 1.320.000,00 PTKP yang dikurangkan adalah PTKP
sebenarnya dibagi dengan 360. Untuk kasus yang upahnya dibayar bulanan PTKP
yang dikurangkan PTKP sebenarnya.
5. PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK
Penghasilan
Tidak Kena Pajak, disingkat PTKP adalah pengurangan terhadap penghasilan bruto
orang pribadi atau perseorangan sebagai wajib pajak dalam negeri dalam
menghitung penghasilan kena pajak yang menjadi objek pajak penghasilan yang
harus dibayar wajib pajak di Indonesia. PTKP diatur dalam pasal 7 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Besarnya PTKP
tersebut adalah:
-
Rp
15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk
diri Wajib Pajak orang pribadi;
-
Rp
1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib
Pajak yang kawin;
-
Rp
15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan
untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami.
-
Rp
1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap
anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta
anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang
untuk setiap keluarga.
Besaran
PTKP menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 ini berlaku mulai 1 Januari
2009.
6. PERHITUNGAN PPh 21, 22, 23, 26
PPh Pasal 21
Tarif
PPh Orang Pribadi
a.
Tarif
pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagimana diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, dengan ketentuan sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
|
Tarif Pajak
|
Sampai
dengan Rp 50.000.000,00
|
5%
|
Diatas
Rp 50.000.000,00 s/d Rp 250.000.000,00
|
10%
|
Diatas
Rp 250.000.000,00 s/d Rp 500.000.000,00
|
15%
|
Diatas
Rp 500.000.000,00
|
30%
|
b.
Tarif
5% (lima persen)
c.
Tarif
15% (lima belas persen)
d.
Tarif
khusus
Tarif pajak penghasilan pasal 21 yang diterapkan terhadap
Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP menjadi lebih tinggi 20% daripada tarif
yang ditetapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan NPWP.
Contoh:
Penghasilan
Kena Pajak sebesar Rp 600.000.000,00
PPh
yang harus dipotong bagi Wajib Pajak yang memiliki NPWP:
5% x Rp 50.000.000,00 Rp 2.500.000,00
15% x Rp 200.000.000,00 Rp 30.000.000,00
25% x Rp 250.000.000,00 Rp 62.500.000,00
30% x Rp 100.000.000,00 Rp 30.000.000,00
Rp 125.000.000,00
PPh
yang harus dipotong bagi Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP:
5% x 120% x Rp 50.000.000,00 Rp 3.000.000,00
15% x 120% x Rp 200.000.000,00 Rp 36.000.000,00
25% x 120% x Rp 250.000.000,00 Rp 75.000.000,00
30% x 120% x Rp 100.000.000,00 Rp 36.000.000,00
Rp 150.000.000,00
Tarif PPh Badan
Mulai tahun pajak 2009, tarif PPh Badan menganut sistem tarif
tunggal atau single tax yaitu 28% dan akan menjadi 25% pada tahun 2010.
Jadi berapapun penghasilan kena pajaknya, tarif yang dikenakan adalah satu
yaitu 28% atau 25%. Khusus untuk perusahaan terbuka yang memenuhi syarat
tertentu, tarif PPh Badan nya adalah 5% lebih rendah dari tarif umum.
PPh Pasal 22
Besarnya
Pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 ditetapkan sebagai berikut:
1.
Atas
impor:
1)
yang
menggunakan Angka Pengenal Impor (APl), sebesar 2,5% (dua setengah persen) dari
nilai impor, kecuali atas impor kedelai, gandum dan tepung terigu sebesar 0,5%
(setengah persen) dari nilai impor;
2)
yang
tidak menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 7,5% (tujuh setengah
persen) dari nilai impor; dan/atau
3)
yang
tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.
2.
Atas
pembelian barang yang dilakukan oleh bendahara pemerintah, bendahara
pengeluaran, dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), dikenakan tarif sebesar 1,5%
dari harga pembelian dan tidak final.
3.
Atas
penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas oleh produsen atau importir
bahan bakar minyak, gas dan pelumas adalah sebagai berikut:
1)
Bahan
Bakar Minyak sebesar:
a.
0,25%
(nol koma dua puluh lima persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada SPBU Pertamina;
b.
0,3%
(nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai
untuk penjualan kepada SPBU bukan Pertamina dan Non SPBU;
2)
Bahan
Bakar Gas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai;
3)
Pelumas
sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai.
4.
Atas
penjualan hasil produksi di dalam negeri oleh badan usaha yang bergerak dalam
bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, dan industri
otomotif:
a.
penjualan
kertas di dalam negeri sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dari dasar pengenaan
pajak Pajak Pertambahan Nilai;
b.
penjualan
semua jenis semen di dalam negeri sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima
persen) dari dasar pengenaan pajak Pajak Pertambahan Nilai;
c.
penjualan
semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih di dalam negeri sebesar
0,45% (nol koma empat puluh lima persen) dari dasar pengenaan pajak Pajak
Pertambahan Nilai;
d.
penjualan
baja di dalam negeri sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari dasar pengenaan
pajak Pajak Pertambahan Nilai.
5.
Atas
pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha
industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan,
pertanian, dan perikanan yang ditunjuk sebagai pemungut Pajak Penghasilan Pasal
22 dari pedagang pengumpul sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari
harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
PPh Pasal 23
Dalam ketentuan baru Undang-undang Pajak Penghasilan,
struktur tarif PPh pasal 23 adalah:
- Tarif 15% x Penghasilan Bruto dan bersifat tidak final dikenakan terhadap penghasilan berupa dividen, bunga, royalti dan hadiah, penghargaan dan bonus selain yang sudah dipotong PPh Pasal 21.
b.
Sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
1.
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
2.
imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi,
jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Berdasarkan
Pasal 23 ayat (1a) Undang-undang Pajak Penghasilan yang baru, Wajib Pajak yang
menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal
23 dan tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), maka besarnya tarif
pemotongan PPh Pasal 23 adalah lebih tinggi 100% (seratus
persen) daripada tarif PPh Pasal 23 umumnya.
PPh Pasal 26
1.
Dikenakan PPh Pasal 26 = 20% dari jumlah bruto
penghasilan wajib pajak luar negeri berupa:
-
Dividen
-
Bunga,
termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian
utang
-
Royalti,
sewa, dan imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta
-
Imbalan
sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
-
Hadiah
dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun
-
Pensiun
dan pembayaran berkala lainnya
2.
Dikenakan PPh Pasal 26 = 20% dari Perkiraan Penghasilan
Netto atas penghasilan wajib pajak luar negeri berupa:
-
Penghasilan
dari penjualan harta di Indonesia
-
Penghasilan
berupa premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di luar
negeri, yaitu:
·
20%
x 50% x Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di Luar Negeri
·
20%
x 10% x Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi LN oleh perusahaan
asuransi yang berkedudukan di Indonesia
·
20%
x 5% x Premi yang dibayarkan kepada perusahaan reasuransi LN oleh perusahaan
asuransi yang berkedudukan di Indonesia
-
Dikenakan PPh Pasal 26 sebesar 20% dari Laba Neto
setelah pajak dari suatu BUT di Indonesia (Branch Profit Tax), kecuali jika ditanamkan kembali di
Indonesia.
-
Dalam hal telah dilakukan Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda antara Pemerintah RI dengan negara lain (treaty partner),
penghitungan besarnya PPh Pasal 26 didasarkan pada Tax Treaty tersebut
(dibebaskan dari pengenaan PPh Pasal 26 atau dikenakan PPh Pasal 26 dengan
tarif yang lebih rendah)
7. PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPh FINAL
1) Badan Pemerintah
2) Subyek Pajak Badan dalam negeri
3) Penyelenggara kegiatan
4) Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau
perwakilan perusahaan luar negeri
5) Orang pribadi sebagai wajib pajak
dalam negeri yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak, yaitu:
a. Akuntan, arsitek, dokter, notaris,
PPAT (kecuali Camat), pengacara, konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas.
b. Orang pribadi yang menjalankan
usaha yang menyelenggarakan pembukuan atas pembayaran berupa sewa.
Pajak Penghasilan atas Bunga, Sewa dan
Imbalan Jasa Konsultan dan Jasa Konstruksi yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah (PPh Pasal 4 ayat 2)
Pasal 4 ayat 2 Undang-undang Pajak
Penghasilan menyebutkan, bahwa:
”Atas penghasilan berupa bunga
deposito, dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan
sekuritas lainnya di bursa efek penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah
dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur
dengan Peraturan Pemerintah”.
Penghasilan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam UU PPh Pasal 4 ayat 2, dikenakan taruf khusus. Jenis penghasilan
tersebut antara lain:
-
Penghasilan berupa bunga deposito/ tabungan, diskonto SBI dan jasa giro
(tarif final 20%)
-
Penghasilan dari transaksi penjualan saham, baik saham pendiri maupun
bukan saham pendiri (tarif final 0,1%)
-
Penghasilan dari transaksi penjualan obligasi
-
Penghasilan dari penyerahan hadiah undian (tarif final 25%)
-
Penghasilan dari sewa tanah dan bangunan (tarif final 10%)
-
Penghasilan dari penyerahan jasa konstruksi
-
Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah/ dan bangunan
-
Penghasilan dari jasa pelayaran atau penerbangan luar negeri (tarif final
2,64%)
-
Penghasilan dari jasa penerbangan dalam negeri (tarif final 1,8%)
-
Penghasilan dari jasa pelayaran dalam negeri (tarif final 1,2%)
1. Bunga dan
diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia atau
cabang bank luar negeri di Indonesia.
2. Bunga deposito
dan tabungan serta Serifikat Bank Indonesia, sepanjang jumlah deposito dan
tabungan serta Sertifikat Bank Indonesia tersebut tidak melebihi Rp
7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dan bukan merupakan jumlah
yang terpecah-pecah.
3. Bunga deposito
dan tabungan, serta diskonto SBI yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
4. Bunga tabungan
pada bank yang ditunjuk pemerintah dalam rangka pemilikan rumah sederhana dan
sangat sederhana, kaveling siap bangun untuk rumah sederhana dan sangat sederhana,
atau rumah susun sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk dihuni
sendiri.
5. Bunga deposito
dan tabungan, serta diskonto SBI yang diterima atau diperoleh bukan Subjek
Pajak.
8. PENCATATAN AKUNTANSI ATAS PAJAK DIPOTONG/DIPUNGUT
PPh Pasal 21
Dalam
hal ini perusahaan sebagai pihak pemotong PPh 21, terjadi pemotongan yang telah
dilaksanakan, timbul utang kepada pemerintah sampai dilakukan penyetoran ke kas
Negara, dibuatkan jurnal sebagai berikut:
Pada saat pemotongan (dilakukan
saat pembayaran gaji)
Biaya Gaji xxx
Utang
PPh Pasal 21 xxx
Kas(gaji yang dibayarkan) xxx
Pada saat menyetor ke kas Negara
Utang PPh Pasal
21 xxx
Kas xxx
PPh Pasal 22
PPh
pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga sehubungan
dengan pembayaran atas penyerahan barang, impor barang, dan kegiatan usaha di
bidang-bidang tertentu (seperti penyerahan barang oleh rekanan kepada
bendaharawan pemerintah). Jurnal pencatatan PPh Pasal 22 oleh Importir pada
saat barang impor diterima adalah sebagai berikut:
Pembelian xxx
Pajak dibayar dimuka (PPh Pasal 22) xxx
Kas xxx
PPh Pasal 23
PPh pasal 23 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh
pihak ketiga sehubungan dengan penghasilan tertentu (seperti deviden, bunga, royalti,
sewa, dan jasa) yang diterima WP badan dalam negeri dan BUT. Jurnal Pencatatan
PPh Pasal 23 oleh pemotong pajak adalah sebagai berikut:
Pada saat
pemotongan (dilakukan pada saat pembayaran imbalan jasa)
Beban
Jasa xxx
Utang
PPh Pasal 23 xxx
Kas xxx
Pada saat
penyetoran ke kas Negara
Utang
PPh Pasal 23 xxx
Kas xxx
Sedangkan jurnal PPh Pasal 23 oleh penerima imbalan jasa
adalah sebagai berikut:
Kas xxx
Pajak
dibayar dimuka (PPh Pasal 23) xxx
Pendapatan
Jasa xxx
DAFTAR RUJUKAN
Mardiasmo. 2008. Perpajakan. Edisi Revisi. Yogjakarta : Andi.
Siti Resmi. 2008. Perpajakan: Teori dan Kasus. Edisi 4. Jakarta : Salemba Empat.
Undang-Undang PPh Nomor 36 tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan (UU PPh)
http://www.pajak-indonesia.com/Words/Ind/faqpotput.htm#21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar